Newest Post
// Posted by :iswaramba
// On :Monday, April 21, 2014
Aku masih merasa kalau saja
segala ini mimpi, sampai aku melihat tanganku lagi.
“Sial” pekikku seketika
lalu terduduk tegak dari posisi tidurku sebelumnya. Aku memegangi keningku yang
terasa penat. Dari sela jari aku melebarkan pandangan di tempat aku berada kini.
Sebuah lorong buntu yang terbentuk dari tembok-tembok tinggi bangunan pertokoan
di London. Ini sudah pagi, namun tempat ini gelap dan lembab, sinar matahari
tidak mampu mencapai tempatku terduduk.
Tanganku mengambil
sebuah kertas yang tersimpan di saku celana panjang model tentaraku. Dadaku
terasa pedih, seakan hal sepahit ini tak mungkin aku rasakan. Perkataan dokter
beberapa hari yang lalu kembali terngiang.
“Kanker paru-paru
stadium akhir, kanker ini juga sudah merambat ke mulut dan tenggorokanmu,
Grace, akibat kecanduanmu terhadap rokok yang tidak berkesudahan”
“Grace, percaya padaku
kalau semua akan baik-baik saja”ujar Willie.
“Tapi semuanya tidak
baik-baik saja Willie”
Setelahnya aku pergi
seperti orang kesetanan, berlari, berlari dan terus saja berlari. Willie tak
lagi aku hiraukan, kekasihku itu pasti tahu hal yang terbaik untuknya, yaitu
pergi meninggalkanku. Aku tidak tahu sejauh apa aku berlari hingga kutemukan sebuah
toko kecil yang menjual berbagai jenis rokok. Dengan kekesalan yang membuncah
aku memasuki toko tersebut dan membeli sebanyak-banyaknya rokok yang bisa
kuambil. Akupun mulai menyalakan dan menyesapnya dengan kalap. Toh pada
akhirnya aku akan mati, pikirku.
Dingin petang telah
mulai menusuk kulit meski aku sudah mengenakan jaket tebal. Entah telah berapa
puluh puntung rokok yang telah aku hisap. Dadaku terasa panas dan aku mulai
sulit bernapas. Kulit-kulitku serasa melepuh dan berdarah. Aku merasakan
wajahku melorot, tidak kencang seperti biasanya. Aku mulai berlari dan berhenti
di depan toko yang memiliki kaca besar. Aku terkejut melihat pantulan diriku
yang sekarang. Menyeramkan, hanya kata itu yang bisa aku teriakkan. Wajahku
memucat dan meluber kebawah serta mulut dan hidungku mengeluarkan darah. Rambutku
menipis dan semakin jarang. Sebisa mungkin aku menutupi bagian tubuhku yang
terlihat karena bercak-bercak darah itu mulai menetes dan terasa perih serta
menyeramkan. Aku mulai berlari lagi, namun entah mengapa tidak bisa secepat
dulu. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku terjatuh di gang buntu ini dan
kehilangan kesadaran.
“Grace, sudah bagunkah
kamu?”
“Willie, apa yang kamu
lakukan disini? Jangan, jangan mendekat lagi” aku merapatkan tubuhku ke
dinding, berusaha menjauhi Willie sambil menutupi kulitku yang terlihat. Namun Willie
tetap mendekat, dengan senyuman keramahannya yang selalu memikat hatiku.
“Aku sudah melihat
semuanya dari kemarin Grace, dan pada akhirnya aku tetap mengikutimu” ia telah
sampai di depanku lalu berjongkok. Didekapnya tubuhku, mendadak suasana menjadi
hangat dan nyaman.
“Tapi, bagaimana ini bisa
terjadi Willie? Apakah semua penyakit kanker memiliki gejala mengerikan seperti
ini? Atau semua orang yang akan mati akan semenyeramkan ini?”
“Bukan begitu anak muda”
sebuah suara asing membelah percakapan kami lalu aku melihat sebuah cahaya
beberapa meter di atas kami. Cahaya tersebut mulai pudar dan menyisakan sesosok
tubuh mungil bersayap yang juga bercahaya.
“Siapa kau?” ujarku
masih dalam dekapan Willie.
“Peri, seperti yang kau
lihat” peri kecil seukuran telapak tanganku itu terbang dan mendarat seenaknya
di bahu kananku.
“Oh, Zombigaret yang
malang” ujarnya lagi sambil menepuk-nepuk wajahku yang masih mengeluarkan
darah.
“Apa? Zombigaret?” Tanya
Willie.
“Baiklah akan aku
percepat. Sekarang kamu adalah sesosok zombie yang berspesies Zombigaret,
karena perubahanmu menjadi zombie disebabkan oleh rokok. Mahkluk setengah
hidup, transisi. Sisa waktu hidup, tiga hari, kalau kau tidak menemukan ‘Lima
Amin’ ”
“Lima Amin?” ulangku
“Yup, lima kata amin
yang tulus dari orang-orang yang benar-benar bersimpati padamu. Sudah dulu ya,
masih banyak hal yang harus aku kerjakan” peri itu menjentikkan jari dan iapun
menghilang.
Pandanganku beralih
pada Willie yang telah tersenyum penuh makna padaku.
“Apa maumu sekarang
Willie?”
“Mari kita berburu ‘Lima
Amin’ Grace, ini pasti seru”
***
Post a Comment