Newest Post
// Posted by :iswaramba
// On :Friday, February 21, 2014
Lama sudah kita memilih untuk menaiki perahu yang
sama. Aku dengan ketakutanku akan tenggelam lagi. Dan kamu dengan kepolosanmu
yang hanya berorientasi dengan masa depan. Aku telah tahu rasanya garam lautan
dan pedihnya tercebur bersama luka. Kamu tak pernah merasakan apapun. Meski
dengan rasa takut serta luka yang belum sembuh benar, aku tetap mengikutimu
menaiki perahu kita.
Kamu akan berdiri di bagian depan perahu demi
melihat tujuan kita. Kamu selalu di baying-bayangi orientasimu yang selalu kamu
takutkan. Kamu takut akan ombak, badai serta angin bahkan goyangan kecilpun
dapat membuatmu tersentak. Dan aku beribu kali telah berkata, semua itu tak
akan masalah, jika ingin berlayar semua hal itupun pasti kamu rasakan. Tapi
kamu tetap tak peduli, tak menggubris dan tidak mau tahu, kamu terus melihat ke
depan, kemana perahu kita berlayar, dan tidak pernah menoleh ke belakang,
tentang kondisi perahu kita.
Awalnya cuma retakan kecil, aku tidak
mempedulikannya. Retakan itu bertambah besar, membawa beberapa tetes air laut
masuk ke perahu, maka aku dengan tangan-tangan lemahku yang masih terluka
bersedia menutupnya. Pernahkah kamu bayangkan pedihnya? Waktu membawa retakan
yang lebih besar lagi, lebih panjang hingga tangan lemahku yang terlukapun tak
lagi bisa menutupnya, maka kugunakan pula kakiku yang masih patah dan berdarah. Kamu tidak tahu dan
masih saja memandang ke depan bersama seluruh rasa takutmu.
Retakan itu telah membelah setengah perahu kita,
meski pedih, aku tetap bertahan dan menggunakan seluruh tubuhku yang rapuh
untuk menutupnya. Berharap tak ada lagi air laut yang masuk ke dalam dan
menambah perih luka yang kumiliki. Aku bisa melihatmu, masih berdiri menghadap
ke depan ditemani dengan rasa takut.
Dan kini, retakan itu telah sampai pada ujung-ujung
perahu kita. Tangan, kaki dan tubuhku tak cukup kuat lagi untuk menahannya agar
tidak terbagi dua. Aku telah terlalu lelah dan pedih untuk berusaha lagi.
Perahu kita telah terbelah dua. Aku melompat ke
retakan yang berlainan agar kita tidak tenggelam. Kamu masih melihat ke depan. Arus
membawa jarak yang lebih lebar lagi pada kita. Dan ketika aku hanya dapat
melihat titik bayangan dirimu yang sebentar lagi menghilang di telan jarak,
kamu baru menoleh. Hal terakhir yang bisa aku lihat tentangmu, kamu berteriak,
meneriakkan kata-kata yang entah mengapa tidak bisa kudengar.
Post a Comment