Newest Post

// Posted by :iswaramba // On :Wednesday, December 26, 2012



“Santi buduh1 , Santi buduh. Weekkk... ” ucap teman-temanku bersamaan sambil mendorong kepala Santi dengan kasar dan menjulurkan lidah mereka.
“Awas kalian! Bapak yange mai nyanan2 ” balas Santi sambil memegangi kepalanya yang tampak kesakitan. Wajahnya memerah karena menangis. Ingusnya keluar dari hidungnya. Rambutnya keriting yang dikuncir dua itu juga berantakan karena dijahili.
Huft. Baru beberapa hari pindah ke sekolah baru aku sudah mengerti keadaan di sini. Jauh berbeda dengan sekolahku yang dulu. Di sini banyak anak-anak yang liar dan kasar. Mereka yang notabene adalah anak buruh atau anak pedagang kecil yang kurang kasih sayang. Sementara teman-teman di sekolahku dulu adalah anak-anak dari keluarga pedagang-pedagang besar yang sukses.
Ini masih tingkat sekolah dasar. Akupun terkejut saat baru tiba di sekolah ini. Aroma kekasaran dan pelanggaran moral sangat menusuk hidung. Sebagai murid baru, aku hanya memilih untuk berdiam diri karena takut membuat masalah. Menjadi pahlawan kesiangan bukan saatnya sekarang. Anggota geng anak-anak berandalan itu bisa saja merubah sasaran cacian mereka padaku.
Aku setiap harinya bisa melihat dari bangkuku di pojok kelas ini. Santi dijahili terus menerus. Ia memang tidak seperti anak kelas 5 lainnya. Ia terkesan sangat mencolok. Bagaimana tidak, ia yang bertubuh besar karena umurnya telah 15 tahun berada di kelas 5 dengan anak-anak yang berumur 10 sampai 11 tahun. Ia pun tidak seperti murid lainnya. Dari berita yang aku tahu, ia telah mengalami keterbelakangan mental sejak baru lahir.
“Haha Santi belog sajan3 gambar aja ga bisa. Megang penggaris juga ga bener. Huuu... dasar gila!” ucap anak-anak itu lagi sambil mendorong kepala Santi. Santi kembali menangis. Mukanya memerah. Ingus keluar dari hidungnya. Huft, aku kembali mendengus di mejaku.
“Sandra adi sing4 ke kantin?” ucap Santi yang tanpa kusadari telah berada disampingku. Ia melihatku penuh tanya. Badannya bungkuk. Matanya bergetar tak bisa diam tidak seperti mata orang normal.
“Aku ga pengen ke kantin” ucapku sambil mengalihkan pandangan ke jendela yang ada di sebelahku.
“Kamu mau roti? Ini ada roti yang kemarin dibuat ibukku” ujarnya sambil menyerahkan kue bolu dari kotak makanannya. Bau bolu yang lezat menggangguku. Tanpa sadar aku mengambil satu dari dalam kotak makanan itu.
“Makasih”
“Kalau masih lapar ambil aja lagi ya” ia pun pergi keluar kelas. Tiba-tiba teriakannya terdengar mencaci anak-anak nakal itu. Pasti roti yang ia bawa diambil oleh mereka. Santi, kenapa kamu harus keluar tadi? Huft.
***
Menjadi anak kelas 6 kini aku harus lebih giat untuk belajar. Aku tidak ingin tidak lulus sekolah. Mama juga memberikanku asupan gizi yang cukup agar tidak kelelahan saat belajar. Pulang dari sekolah aku sempatkan untuk mampir ke penjual soto di pinggir jalan tak jauh dari sekolah. Tadi, mama berpesan agar membeli soto untuk makan siang. Hari ini mama harus menyelesaikan pesanan baju, sehingga tidak sempat memasak.
Oh ya, tahun ini adikku menjadi siswa kelas satu di sekolahku. Adikku sangat penakut dan mudah sekali menangis serta ketakutan. Ia begitu rapuh.
Saat menunggu soto pesananku dibungkus, aku dan adikku memandangi jalanan. Namun ada keributan yang menarik perhatian kami. Lalu kami berusaha mendekat ke jalan aspal. Ya Tuhan, ini benar-benar keterlaluan. Aku melihat Santi berlari sambil menangis. Bukan, bukan menangis biasa. Ia berlari menjauhi kerumunan anak-anak berandalan yang melemparinya dengan batu. Mereka berteriak mengejek. Melempar batu pada Santi dengan membabi buta. Santi terus berlari sambil menangis. Ia juga berteriak kesakitan. Dalam teriaknya Santi memohon agar mereka berhenti. Namun anak-anak geng tersebut tetap melempar Santi dengan batu. Badan Santi memar, tak sedikit bagian dari kulitnya yang mengeluarkan darah  Aku meringis dan menutup mata adikku. Aku melihat kepala, punggung, semua tubuh Santi terkena lemparan batu yang ukurannya tidak kecil. Ia terus berlari. Meninggalkan aku yang melihatnya nanar di pinggir jalan.
***
“Hari ini Santi tidak datang kesekolah, dia kenapa ya?” ucap guruku diruang guru pagi itu. Hari ini aku mendapat giliran untuk membersihkan ruang guru.
“Sandra tahu enggak Santi kenapa?” tanya guruku
“Mmm...”
“Kamu tahu?” tanya guruku semakin antusias
“Iya bu, sepertinya saya tahu” ucapku tergagap
“Dia kenapa nak? Coba ceritakan pada ibu”
“Gini bu, kemarin ia di lempari batu oleh anak-anak geng. Saya melihat mungkin tubuhnya banyak memar jadi tidak bisa sekolah”
“Astaga, iya nanti ibu panggil anak-anak itu. Terima kasih ya Sandra”
“Iya bu”
Tuhan semoga tidak ada hal aneh yang terjadi. Aku menaruh sapu di pojokan ruang guru dan berlalu ke kelas. Ada rasa tak enak dalam hatiku.
***
“Sandra, adikmu menangis di kelasnya” ucap salah satu temanku panik sambil menarik tanganku.
“Dia di ganggu anak-anak geng” teriaknya
“Oh Tuhan” aku berlari sekuat tenaga ke kelas adikku. Berharap ia tak disakiti oleh anak-anak geng itu. Tuhan tolong adikku.
Aku terkejut mendapati kondisi adikku saat ini. Ia duduk di kursinya sambil menangis. Ia dikelilingi oleh anak-anak geng itu. Aku melihat kepala adikku di dorong dengan kesar oleh beberapa anggota geng itu sekaligus. Rambutnya berantakan. Ya Tuhan, isi tas adikku berhamburan di kelas itu. Dan, aku juga melihat salah satu anggota geng tersebut mencoret-coreti tas adikku.
“Apa yang kalian lakuin sama adikku!” teriakku
“Oh ternyata ini si tukang adu kita. Kita enggak ngapa-ngapain dia kok. Kita Cuma main-main” ucap salah satu dari mereka yang statusnya adik kelasku.
“Ini salahku, kalian ga perlu ganggu adikku”
“Kami tahu kalau ganggu kamu bakalan ga asik. Kamu bukan orang yang gampang ketakutan. Tapi kami tahu ketakutan terbesarmu adalah ini” ia menunjuk adikku.
“Tolong jangan ganggu dia” ucapku lirih. Aku tak tega melihat adikku seperti itu. Aku merasa gagal menjadi seorang kakak.
“Kakak, Putri takut. Tolong kak” teriak adikku.
“Tolong lepasin dia” aku mulai menagis
“Ok, untuk saat ini sudah cukup. Tapi awas aja kalau lain kali kamu ikut campur urusan kami” ia berlalu melewatiku. Teman-temannya juga pergi sambil melihatku dengan amarah besar.
Aku melangkah gontai mengambil tas adikku. Memungut satu demi satu perlengkapan sekolahnya. Aku mendekatinya, berlutut di depannya, memeluknya.
“Kakak, Putri takut” ujarnya sambil terisak. Aku merasakan, getaran badannya yang ketakutan.
“Maafin kakak, kakak janji ini ga bakal terulang lagi. Kakak janji” aku memeluknya semakin erat. Aku benci. Kenapa tak ada guru yang datang saat ini.
***
“Sandra, maafin aku. Gara-gara aku adikmu jadi korban” ucap Santi. Aku melihat beberapa plester dan perban menghiasi kulitnya.
“Iya ga apa. Mending kamu pergi aja sekarang. Aku mohon. Ga usah deket-deket lagi ” ucapku menahan air mata.
“Iya kalau itu maumu. Aku memang ga pantas buat jadi teman siapapun. Aku terlalu hina” matanya yang bergetar mulai berkaca-kaca. Iapun berlalu.
Iya ini akan baik-baik saja Sandra. Begini akan lebih baik.
***
Entah mengapa kali ini aku ingin pergi ke toilet. Untuk menuju toilet aku harus melewati ruang guru. Samar-samar aku mendengar percakapan kepala sekolahku dengan wali kelasku.
“Ibu bagaimana ini. Ujian nasional sudah dekat. Santi tidak bisa apa-apa” ujar wali kelasku
“Iya, itu juga yang saya cemaskan. Kalau dia sampai tidak lulus ini dapat membuat malu sekolah kita”
“Saya sudah tidak punya cara lagi buk. Walaupun kita berikan ia kunci jawaban, ia juga tidak bisa menghitamkan bulatan di LJK”
Huft. Aku berlalu dan  menuju kelas dengan gontai.
***
Aku berangkat sekolah pagi-pagi benar. Sampai dikelas aku menaruh bungkusan kantong plastik hitam ini di bangku Santi. Aku harap ini dapat berguna.
Saat masuk kelas. aku melihat Santi membuka bungkusan tersebut. Ia tersenyum. Isi dari bungkusan itu adalah penggaris untuk menghitamkan bulatan LJK, puluhan kertas LJK yang aku fotocopy, juga fotocopy dari catatanku yang mudah untuk dipelajari.
Setiap hari aku selalu melihatnya menekuri fotocopy dari catatanku. Ia juga sangat giat berlatih membulatkan lembaran LJK. Tuhan semoga yang terbaiklah yang terjadi
***
Akhirnya ujian nasional telah usai. Aku sangat lega karena semuanya berjalan dengan lancar.
Hari pengumuman kelulusan terasa begitu mendebarkan. Aku sebisa mungkin untuk tidak memikirkannya. Di sekolah acaranya berjalan dengan nama setiap anak dipanggil dan anak tersebut naik ke atas panggung. Setelah berada di atas maka akan disebutkan anak tersebut lulus atau tidak.
“Sandra Iswaramba” aku naik dengan perasaan berkecamuk. Beberapa temanku yang dipanggil sebelumnya ada yang tidak lulus. “Lulus, 28.5” aku berjingkrak. Nilai yang aku dapatkan ternyata melebihi apa yang aku targetkan terimakasih Tuhan.
“Santi Dewi” Santi naik dengan takut-takut. Aku kembali berdebar. Banyak orang tua yang hadir juga teman-teman mencibir dan menilai ia tak akan lulus. “Lulus, 24.8” ia jatuh bersimpuh. Air matanya mengalir deras. Tak terasa aku juga ikut menangis. Terimakasih Tuhan.


Teruntuk: Santi Setia Dewi yang kini telah lulus ujian nasional SMP dan telah menginjak kelas 2 SMA. Keterbatasanmu bukan akhir dari segalanya. Semoga hidupmu akan berjalan sesuai namamu. Santi= Damai.
1 buduh= gila
2 Bapak yange mai nyanan = nanti bapakku kesini
3 belog sajan = bodoh sekali
4 adi sing = kenapa tidak

2 Responses so far.

  1. mau tanya, kalau Santi cara belajarnya gimana? digabungin sama teman2 yang lain (masih normal)?

    semoga Santi sukses dalam hidupnya yaa. walau cuma baca kisahnya tapi terharu juga.. hehe salam semoga sukses lomba blognya..! :)

  2. iswaramba says:

    ia digabung sama yang temen2 lain, makanya dia jadinya kontras banget...
    iya semoga santi sukses, dia orang yang baik,,
    iyep, makasi semangatnya, ini juga baru belajar nulis sama ngeblog, kamu ikutan lombanya juga?

// Copyright © San'say Orstegile Blog //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //